Mustofa Ciputra

Bisnis5,097 views

 

OLEH : DAHLAN ISKAN

“YANG tidak bisa dipakai semua janganlah dibuang semua”.

Semua santri di pondok pesantren mempelajari prinsip itu. Tapi hanya Kholid Mustofa yang mempraktikkannya dalam bisnis di tengah pandemi.

Covid-19 membuat bisnis Mustofa harus tutup. Enam bulan penuh. Dibuka pun tidak akan ada yang datang.

Maka selama enam bulan itu seluruh karyawannya harus tetap masuk: 400 orang. Mereka sibuk memasang lantai, menanam pohon, membuat kolam, memasang atap, merapikan parit.

Begitu PPKM dilonggarkan perluasan proyeknya sudah rampung. Rapi.
Itulah taman rekreasi Kampung Cokelat. Yang letaknya benar-benar di desa kecil di kabupaten kecil. Sekitar 15 Km dari kota kecil Blitar.

Saya ke objek wisata itu Sabtu lalu: senam dansa di situ. Di salah satu plaza indoor-nya yang luas. Sambil jadi tambahan tontonan bagi pengunjung.

“Sekarang, kalau Sabtu begini jumlah pengunjung sudah bisa mencapai 5.000 orang,” ujar Mustofa. “Sebelum Covid bisa 8.000 orang,” tambahnya.

Itulah sebabnya Mustofa melakukan perluasan selama PPKM-4. “Sekarang Kampung Cokelat ini menjadi 4,5 hektare,” katanya.

Ketika kendaraan saya menjauhi kota Blitar memang kian terasa seperti kian ke pedesaan. Tapi begitu memasuki Desa Plosorejo, di kecamatan Kademangan, langsung terasa memasuki daerah turis beneran: banyak bus wisata parkir di desa itu.

Inilah bedanya. Objek wisata di pedesaan biasanya baru hidup kalau ada gunung yang berdewa, ada danau yang indah atau ada air terjun bidadari mandi. Sedang di Plosorejo ini hanya ada Mustofa.

Ia lulusan Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang. Itulah salah satu pondok berbintang sembilan di lingkungan NU. Pendirinya: almarhum KH Wahab Hasbullah mantan Rais Aam Syuriah PB NU yang juga ayahanda menteri agama almarhum Wahib Wahab.

Mustofa kelahiran desa itu. Ayahnya kiai kampung di situ. Sambil berdagang kecil-kecilan. Juga petani dengan luas tanah setengah hektare.

Sejak kecil Mustofa sudah membantu ayahnya bekerja: ikut jualan, ikut mencangkul, dan ikut memperbaiki rumah.

Begitu tamat SMP, Mustofa dikirim ke pondok Tambak Beras. Sampai lulus madrasah Aliyah (setingkat SMA).

Tamat pondok, Mustofa tidak segera mendapat pekerjaan. Tapi ia punya paman. Yang jadi kontraktor. Proyek yang lagi dikerjakan adalah: objek wisata Garuda Wisnu Kencana di Bali.

Sang paman mengajak Mustofa ke Bali. Menjadi tukang di sana. Setelah mampu lantas dikhususkan untuk mengerjakan interior.

Selama di Bali itulah Mustofa berurusan dengan objek wisata, pekerjaan interior yang harus rapi, dan desain-desain bangunan yang artistik.

Lima tahun Mustofa menenggelamkan umurnya di Bali. Lalu pulang ke Plosorejo: ingin mandiri. Mustofa mencoba beternak ayam. Awalnya sukses. Berkembang. Menjadi 10.000 ekor. Lalu datanglah sial: flu burung. Ludes.

Sial berikutnya menyusul: sakit. Harus operasi.

Mustofa hanya di rumah: rumah orang tuanya. Sambil menanti sembuh. Saat itulah Mustofa melihat beberapa pohon cokelat di belakang rumahnya berbuah.

Ia berpikir buah cokelat itu harus jadi uang. Maka ia mencari pembeli biji cokelat. Sampai ke Malang. Lalu mencari harga yang lebih baik lagi: ke Surabaya.
Jadilah Mustofa pengepul biji cokelat di kampungnya. Sekalian membagikan bibit cokelat ke rumah-rumah tetangga.

Mustofa pun menekuni ilmu penanaman pohon cokelat. Lewat magang di perkebunan cokelat di Malang dan Jember. Lalu mempelajari cara mengolah cokelat.

Jadilah Mustofa tokoh cokelat di desanya. Apalagi ia juga menjadi ketua Gerakan Pemuda Ansor di desa itu. Lalu naik jadi ketua Ansor tingkat kabupaten Blitar kemudian jadi pengurus NU di sana.

Lima tahun di Bali membuat Mustofa berpikir pariwisata. Awalnya kecil-kecilan: kebun cokelat, makanan serba cokelat, dan kolam pancing ikan. Kini menjadi wahana rekreasi yang sangat bermakna. Tanah sebelah-menyebelah dibeli. Pemilik tanah diangkat jadi karyawan.

Mustofa bisa membaca kemampuan masyarakat: harga karcis masuknya hanya Rp 10.000. Itu pun pengunjung tidak dilarang membawa makanan.

Mustofa juga punya selera seni yang baik. Interior wahana-wahana di dalamnya tidak terasa murahan. Dan bersih. Terjaga. “Setiap 20 m2 dijaga 1 orang. Begitu ada pengunjung yang menjatuhkan sampah langsung ada yang ambil,” katanya.

Objek wisata modern memang bisa dibuat. Desa Plosorejo ini contohnya. Pun di alam yang bukan pegunungan, bukan danau, bukan air terjun dan bukan yang punya keunggulan alam apa pun.

Dan yang membuat pun tidak harus tokoh saudagar sekelas Chairul Tanjung atau arsitek selevel Ir Ciputra.(disway.id)